Jika
kita bertanya dalam hati, siapakah orang yang paling peduli terhadap kita?
Siapakah seseorang yang paling perhatian terhadap keberadaan kita? Siapakah yang
paling berjasa akan tegaknya kaki ini, dan siapakah yang dengan rela mengorbankan
semua yang dimilikinya demi kita, demi kebahagiaan kita semata tanpa memikirkan
kondisi dirinya sendiri. Bahkan nyawanyapun
kalau memang diperlukan meraka tak ragu-ragu ataupun sungkan untuk menyerahkannya.
kalau memang diperlukan meraka tak ragu-ragu ataupun sungkan untuk menyerahkannya.
Dialah kedua orang tua kita.
Ayah dan ibu kita, Abah dan Ummi, Papa dan Mama, Daddy dan Mommy. Kedua nama
itulah yang seharusnya kita ingat setiap saat. Disetiap denyut nadi kita ketika
berdetak. Sebagai perbandingan betapa besarnya jasa dua profesi atau julukan
untuk dua makhluk yang Allah kirimkan untuk merawat kita. Terutama dalam sujud
shalat-shalat malam yang kita
laksanakan. Ketika kita bersimpuh dihadapan Tuhan dikeheningan malam yang
sunyi. Ketika semua do’a yang dipanjatkan akan langsung tembus tanpa hijab ke
langit ke tujuh. Ketika Tuhan menjadi saksi air mata yang menetes dari pelupuk
mata karena rasa sesal mendalam atas semua kesalahan yang mengotori hati.
Saat-saat itulah yang paling tepat dan istijaabah untuk mendoakan mereka
berdua. Untuk kebaikan mereka berdua fid dunya wal akhiroh. Karena keberhasilan
merekalah dalam mengesampingkan ego yang mereka miliki yang patut kita garis
bawahi disini serta kita kagumi dalam memberikan kasih yang mereka curahkan
untuk buah hatinya seperti kita ini. Sehingga kita dapat tumbuh dewasa secara
normal dan sehat wal-afiat seperti yang kita nikmati tatkala pembaca membaca
artikel ini.
Memang, seharusnya seperti itulah kita sebagai
hamba yang dhoif dan selalu berharap akan belas kasihnya pada tiap-tiap tarikan
nafas dan tiap-tiap detak jantung yang bergerak. Senantiasa kita jangan
terlepas darinya walaupun hanya sedetikpun, seperti eratnya kuku-kuku yang
menancap dan melekat pada kulit tangan dan kaki. Sangatlah mudah baginya untuk
mematikan kita meskipun hanya dalam satu kali kedipan mata saja. Seperti itulah
usaha kita jikalau mengharapkan hidup yang khusnul khotimah.
Berlaku
baik terhadap kedua orang tua bagi seorang anak sangatlah sebuah kewajiban yang
sangat sakral dan utama. Islam menyebutnya Birrul Walidain. Bahkan tak cukup hanya sebagai sebuah kewajiban, tapi
lebih tepatnya sebagai tuntutan. Baik tuntutan ditinjau dari persepsi agama,
adab sopan santun, secara sosial maupun dari hati ke hati. Tuntutan secara
agama telah jelas termaktub dalam Al-Qur’an dalam Surah Al-Isra’ Ayat 23 yang
berbunyi :
وَقَضَي رَبُّكَ أَلاَّتَعْبُدُواإِلاَّ إِيَاهُ وَبِالْوَالدَيْنِ إِحْسَانًا
إمَّايَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الكِبَرَأَحَدُهُمَاأَوْكِلَاهُمَافَلَاتَقُلْ لَهُمَاأفّ
وَلَاتَنْهَرْهُمَاوَقُلْ لَهُمَاقَوْلاًكَرِيْماً >الإسراء:23<
Artinya : Dan Tuhanmu telah
memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang
diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia.
Sedangkan
tuntutan secara adab sopan santun lebih condong pada nilai-nilai budaya yang
berlaku. Terutama budaya atau adat ketimuran yang menjunjung tinggi estetika
keberakhlakan seseorang. Bagaimana ia bersikap dan merespon terhadap status
sosial seseorang yang dihadapinya. Ketika ia mampu bersikap dengan standar
perilaku yang dimiliki masyarakat setempat maka ia sudah bisa dianggap berhasil
dalam mengaktualisasaikan bagaimana gambaran respon dirinya terhadap budaya
yang berlaku. Dalam persepsi kita sebagai orang timur patuhnya seorang anak
kepada kedua orang tuanyanya menjadi gambaran tersirat ia memiliki budi pekerti
yang baik dan sebuah kecerdasan ataupun kelebihan dalam social relationship
terutama dengan bapak dan ibunya. Hal itu juga menjadi contoh suksesnya seorang
anak akan tuntutan sosial dalam bergaul atau bersosialisasi antara dirinya
dengan dua orang yang berbeda tetapi memiliki tanggung jawab yang sama yaitu
“orang tua”.
Tuntutan
dari hati ke hati lebih condong pada aspek perasaan, Timbul perasaan yang
janggal atau mengganjal jika diri kita tak dapat membanggakan ataulah minimal
membalas budi terhadap jasa-jasa kedua orang tua yang telah kita nikmati dan
alami hingga sampai detik ini. Tiap individu mesti pernah terletup dalam
fikirannya untuk memiliki hasrat menciptakan dan menerapkan hukum timbal balik
ini. Yaitu, jika kita baik terhadap seseorang senantiasa kita juga menerima
perlakuan baik dari orang tersebut. Sama juga dengan kedua orang tua kita dalm
peran protagonisnya. Sementara kita berusaha balas budi pada keduanya. Biasanya
hasrat tersebut muncul ketika hati nurani ada pada puncak pengendalian dalam
diri kita, karena nuranilah alasan munculnya energy positif dalam diri kita.
Bersikap
baik terhadap kedua orang tua bisa dikatakan ada unsur relatifitas di dalamnya,
karena sebuah perbuatan atau ekspresi yang dirasakan oleh tiap-tiap individu
sangatlah berbeda. Berbeda dari tolak ukur cara pandang “perbuatan baik” dari
pribadi yang menilainya. Jikalau sudah menyangkut ranah pandangan personal atau
pandangan subjektif maka di dalamnya mesti tercampul hal-hal yang bersifat
relatifisme. Menjadi sebuah hal atau nilai yang tak tetap jika mengacu pada
pandangan tiap-tiap individu.
Maka
dari itu kita harus cerdas dan jeli untuk memikat hati atau merebut simpati
kedua orang tua kita, karena merekalah yang memiliki taraf penilaian tentang
sikap atau perbuatan kita pada mereka. Yaitu sebagai usaha menjadi Birrul
Walidain yang Kaaffah. Tentunya kesan terbaik menurut asumsi mereka, bukan
sikap terbaik menurut cara pandang kita sendiri. Tak apa kita sementara
menepikan ego yang kita miliki demi membahagiakan kedua orang tua kita sedari
mereka masih ada di sisi kita sebelum ajal menjemput. Yang pada akhirnya kita
akan jatuh pada buaian rasa sesal jika ajal keburu menjemput keduanya tanpa
menghiaskan senyum kebanggaan di wajah keduanya.
No comments:
Post a Comment