Manusia hidup di dunia tak hanya makan dan minum, disamping itu manusia memiliki tugas dan tujuan dalam hidupnya dimana tujuan tersebut sangat erat kaitannya dengan tujuan awal penciptaan dan dilahirkannya manusia ke dunia ini.
Semenjak manusia berupa janin danin dalam perut ibunya dia telah diserahi amanah dan tanggung jawab dipundaknya oleh Allah SWT. baik tanggung jawab terhadap dirinya, lingkungannya, sesuatu yang dipimpinnya dan Tuhannya. Untuk mengemban amanah superberat tersebut seperti yang tercantum dalam surah Al-Ahzab Ayat 72, Allah membekali manusia dengan daya, akal dan fikiran sehingga dari tiga hal tersebut sangat nyata bahwasanya Allah memberikan keputusan di tangan manusia secara mutlak terhadap apa yang dia pilih dalam hidup ini, yang pada akhirnya manusia itu sendiri yang akan menjadi objek pembalasan dari segenap perbuatan baik buruknya yang telah ia pilih.
Akal tersebut diperintahkan oleh Allah untuk dipergunakan sebagaimana mestinya, menimbang mana yang baik dan buruk, mana yang pantas atau tidak serta menafakkuri betapa sistematisnya semua ciptaan tuhan di dunia ini. Terjadi tanpa kebetulan. Dengan kehendaknya pula terjadi simbiosis yang serasi dan seirama serta teratur diantara makhluknya sehingga terjadi fase kehidupan yang harmonis, terukur dan akurat. Bisa kita ambil contoh mekanisme rantai makanan pada pelajaran Biologi, ada pemangsa ada yang dimangsa ada konsumen dan ada produsen. Semua itu telah diatur dan ditakdirkan oleh Allah dalam peranan-peranan masing-masing makhluk dan komponen dalam hidup ini.
Betapa banyak redaksi kalimat dalam Al-Qur’an yang menstimulasi kita untuk mengeksploitasi kemampuan akal kita, seperti ”Maka Apakah mereka Tidak Melihat”(Afalaa Yandzuruuna), “Maka Apakah Mereka Tidak Mengambil Pelajaran”(Afalaa Tadzkkaruun) dan “Apakah Mereka Tidak mempergunakan Akalnya”(Afalaa Ta’qiluun). Dari kalam Tuhan tersebut kita bisa menangkap bahwasanya Tuhan menegur kita untuk mengoptimalkan fungsi akal sekaligus menantang kita untuk memperhatikan, mengkaji dan mengobservasi dari segala sesuatu yang Tuhan ciptakan yang kemudian akan menjadi tambahan kemaslahatan untuk kehidupan manusia yang akan datang dan pendongkrak iman kita setelah memahami bahwa betapa mahabesarnya Tuhan kita serta Dia menciptakan segala sesuatu terhindar dari kesia-siaan.
Dalam hal memanfaatkan akal, Islam telah menetapkan regulasi bagaimana cara yang benar terutama dalam memandang baik buruknya sesuatu, sehingga tak selamanya akal diperkenankan menembus semua zona dalam hidup kita ada area tertentu dimana akal tak boleh melintasi batas tersebut, misal dalam memahami syariat Islam –dengan kata lain perintah Allah baik Al-Qur’an maupun Hadits-. Dalam Ushuluddin atau Ilmu Tauhid sistematika yang baik dakam menyerap ajaran Tuhan adalah melalui kacamata Naqli (Dalil-dali yang telah tertulis dalam Al-Qur’an dan Hadits) yaitu dalam menimbang baik buruknya sesuatu dalam syariat kita harus menitik beratkan pada dalil Naqli. Jadi, sesuatu jika ditimbang melalui akal logika kita benar tak selamanya bisa dibenarkan oleh Naqli begitu juga sebaliknya. Well, kita harus mengambil aspek dalil Naqlinya terlebih dahulu karena aspek tersebut berasal dari Tuhan yang lebih tahu tentang urusan agamanya dari pada kita. Dikarenakan apabila mengambil dari segi Aqlinya bemum tentu hal tersebut berdampak positif dalam urusan agama yang dimana Aqli tersebut berasal dari akal kita yang sarat kekurangan dan kelemahan serta sering terkontaminasi oleh budaya serta lingkungan kita berada. Dengan kata lain kita tak boleh beragama “hanya” dengan akal dan meng akal-akalkan agama karena akal tak memiliki kapabilitas yang mumpuni untuk menyerap syariat agama secara totalitas atau kaaffah sehingga apabila dipaksakan ditakutkan akan menghasilkan turbulensi pemahaman yang cacat sehingga merusak pemahaman itu sendiri. Dalam kasus ini berlaku asas pengkultusan yang ditujukan pada Tuhan sebagai target man dalam tetekbengek urusan beragama, sering kita dengar jargon “Undzur Man Qaala Walaa Tandzur Manqola” artinya lihatlah siapa yang berbicara dan janganlah lihat apa yang dia bicararakan, siapa diatas tadi kembali kepada Tuhan.
Islam tidak secara mutlak mematikan dan menafikan fungsi dan logika manusia tetapi Islam memberikan porsi tersendiri bagi akal dimana akal menempati kasta kedua setelah Naqli atau sebegai pelengkap dan penguat dari dalil Naqli itu sendiri, artinya kita boleh saja berdalil dengan Aqli apabila sebuah perbuatan (tentang baik buruknya) tak dijelaskan dalam Naqli asalkan Aqli tersebut tidak bertentangan dengan Naqli yang umumnya Aqli tersebut berkaitan erat dengan kebisaan atau cara memandang yang berlaku disebuah komunitas bagaimana menilai baik buruknya terhadap sesuatu.
Alasan Islam menomomorduakan Aqli adalah seringnya akal terkontaminasi dan terintervensi oleh kepentingan nafsu dalam memandang baik buruknya sesuatu dalam situasi tertentu sehingga apabila kekuatan hawa nafsu mendominasi dalam diri seseorang dan kekutan akal telah dikalahkan maka akal pun menjadi lumpuh oleh nafsu demi memuaskan keinginan nafsu yang terlihat rendah dihadapan akal sehat manusia. Perlu kita catat disini, hawa nafsu tidak akan pernah puas semakin sering dilayani semakin manja dan terus meminta kecuali kita punya komitmen dan tekad yang kuat untuk mengekangnya makanya dalam hadits disebutkan jihad yang terbesar dalam hidup ini adalah jihad melawan hawa nafsu.
Tampaknya kita tak pantas mengkonotasi akal tanpa mengimbanginya dengan deskripsi positif mengenai akal. Negasi dari penjabaran di atas, tak selamanya nafsu dapat menggembosi akal jikalau si pemilik nafsu mampu menghandle nafsunya sehingga kondisi akal termanage dengan baik, yang pada akhirnya si pemilik mampu mendaya gunakan akal secara optimal tanpa dibayangi oleh nafsu yang bertolak belakang fungsi diantara keduanya. Akal yang normal mampu menjadi penawar dan pemenang bagi nafsu yang jahat. Jika kita komparasikan, kekuatan akal dan nafsu fity-fity yang kadangkala terjadi superioritas diantara keduanya.
Akal juga menjadi penyekat antara sifat manusia dan binatang serta memberikan perbedaan insting diantara keduanya. Manusia menjadi lebih berharga dan terhormat daripada binatang karena akalnya. Tapi, Tuhan tak menjamin manusia lebih mulia daripada binatang karena akalnya sebab tak semua manusia mengetahui dan mendayagunakan eksistensi akalnya sebagaimana mestinya. Bisa dibilang tak ada bedanya antara ada akalnya atau tidak, otomatis bisa disamakan dengan binatang. Nah, karena tak ada bedanya tersebut manusia dapat diumpamakan lebih hina daripada binatang, bisa kita analisa sendiri mengapa bisa begitu. Allah berfirman dalam surat Al-A’raf ayat 179 yang berbunyi:
“ Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.”
Tapi akal tak berperan tunggal sehingga manusia yang tak dapat memakai akalnya dapat disebut lebih hina daripada binatang, masih ada fikiran dan jiwa dihati yang juga berperan mengontrol keinginan dan insting manusia setelah komponen di atas saling berkolaborasi diantara satu dengan yang lainnya bersama akal, sehingga apabila salah satu diantara keduanya mengalami trouble manusia masih juga berpeluang lebih hina daripada binatang.
Akal tak dapat bekerja jikalau tak ada input dari panca indera, tanpa panca indra akal tak akan berfungsi sebagaimana mestinya karena jika manusia tak berpanca indra ia tak akan pernah bisa hidup, tak ubahnya benda mati. Tapi, tak selamanya panca indra butuh pada akal buktinya kucing masih bisa hidup tanpa akal konsekuensinya kucing hanya dikontrol oleh nafsu hewaninya saja yang terkadang tak dapat diterima oleh akal sehat manusia contohnya, anak kucing yang telah dewasa berhubungan badan dengan induknya lebih parahnya lagi di bangsa manusia sendiri, anak (maaf) memperkosa ibu kandungnya sendiri dan laki-laki berhubungan badan dengan sesama lelakinya begitu juga perempuan. Pernahkah kita mendengar cerita binatang berhubungan dengan sesama jenisnya dikalangan mereka, saya kira anda juga belum pernah mendengarnya. Bukankah hal ini lebih memalukan daripada binatang. Inilah fakta yang tak dapat disangkal telah terjadi di abad kita sekarang. Inilah suatu gambaran akal telah bertekuk lutut di hadapan hawa nafsu. Dengan kata lain, nanusia lebih hina daripada binatang karena keberadaan akalnya (karena akalnya tak digunakan).
Begitulah Allah menjadikan akal lawan dan ingkaran dari hawa nafsu. Dua makhluk Allah yang tertanam dalam setiap jiwa manusia, keduanya saling mengalahkan dan tidak akan pernah bersatu untuk menguasai jiwa manusia. Manusia yang dominan akalnya berarti dia mendapat pancaran nur-ilahi begitu juga sebaliknya. Allah pernah bertanya pada akal dan hawa nafsu: Hai akal siapakah aku dan kamu? Akal menjawab, aku adalah hambamu dan engkau adalah tuhanku. Hawa nafsu juga menjawab: aku adalah aku sendiri, kamua adalah kamu.
Akal juga mempunyai peran vital dalam kriteria pewajiban aturan Islam yaitu ketika Islam mewajibkan secara mutlak kepada seorang muslim tentang hukum-hukumnya, segala perintahnya dan semua ajarannya untuk dilaksanakan. Ketika Islam memandang seseorang telah wajib menjalankan aturannya yang telah diletakkan di pundaknya, artinya akal menjadi indicator untuk menganggap dan memperhitungkan tentang perbuatan baik dan buruk yang telah dilakukan oleh seorang muslim. Yang pada awalnya dia masih kanak-kanak “belum dianggap” dalam pelaksanaan dan penyerapan aturan Islam sekarang dia sudah mulai beranjak dewasa (berakal) otomatis aturan Islam wajib dilaksanakan olehnya. Sedangkan orang yang telah berakal biasa disebut mukallaf. Tak hanya itu Islam meletakkan akal sebagai tolak ukur dalam berlakunya sebuah kewajiban. Dalam persaksian Islam juga meletakkan akal sebagai satu hal yang harus dimiliki oleh seorang saksi secara logika anak kecil dan orang sinting tak dapat menjadi saksi karena akalnya yang tak sempurna, begitu juga syarat dalam menjadi seorang perawi hadits.
Islam sangat mengakui eksistensi akal dalam jiwa manusia buktinya Islam melarang penganutnya mengonsumsi segala sesuatu yang memabukkan seperti Khamr, ganja, heroin dan ekstasi. Karena rasa mabuk mampu menghilangkan akal sehat dan kesadaran, yang pada akhirnya si peminum melakukan perbuatannya diluar kontrol akalnya yang kebanyakan memang tak masuk akal perbuatan si peminum tersebut seperti membunuh istrinya sendiri, menyetubuhi darah dagingnya sendiri den perbutan tercela lainnya. Dengan kata lain, menjaga akal agar tetap sadar merupakan tindakan preventif bagi manusia dari perbutan kriminal dan menzhalimi orang lain. Allah berfirman tentang pelarangan khamr dalam kitabnya yang berbunyi:
" Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,"ِ
Akal juga turut diperhitungkan dalam Ilmu teologi atau ilmu kalam, yaitu akal menjadi salah satu kerangka berpikir dalam ilmu tersebut. Cara berpikir dalam berpendapat tentang suatu hal turut mempengaruhi hasil dari sebuah keputusan. Cara berpikir yang memberikan porsi tak terbatas pada akal biasa disebut cara berpikir rasionalis, logis atau logika. Dalam Ilmu teologi penganut cara berpikir seperti di atas sering diadopsi oleh orang-orang mu’tazilah makanya mereka sering dijuluki rasionalis atau liberalis, sang maniak akal.
Semenjak manusia berupa janin danin dalam perut ibunya dia telah diserahi amanah dan tanggung jawab dipundaknya oleh Allah SWT. baik tanggung jawab terhadap dirinya, lingkungannya, sesuatu yang dipimpinnya dan Tuhannya. Untuk mengemban amanah superberat tersebut seperti yang tercantum dalam surah Al-Ahzab Ayat 72, Allah membekali manusia dengan daya, akal dan fikiran sehingga dari tiga hal tersebut sangat nyata bahwasanya Allah memberikan keputusan di tangan manusia secara mutlak terhadap apa yang dia pilih dalam hidup ini, yang pada akhirnya manusia itu sendiri yang akan menjadi objek pembalasan dari segenap perbuatan baik buruknya yang telah ia pilih.
Akal tersebut diperintahkan oleh Allah untuk dipergunakan sebagaimana mestinya, menimbang mana yang baik dan buruk, mana yang pantas atau tidak serta menafakkuri betapa sistematisnya semua ciptaan tuhan di dunia ini. Terjadi tanpa kebetulan. Dengan kehendaknya pula terjadi simbiosis yang serasi dan seirama serta teratur diantara makhluknya sehingga terjadi fase kehidupan yang harmonis, terukur dan akurat. Bisa kita ambil contoh mekanisme rantai makanan pada pelajaran Biologi, ada pemangsa ada yang dimangsa ada konsumen dan ada produsen. Semua itu telah diatur dan ditakdirkan oleh Allah dalam peranan-peranan masing-masing makhluk dan komponen dalam hidup ini.
Betapa banyak redaksi kalimat dalam Al-Qur’an yang menstimulasi kita untuk mengeksploitasi kemampuan akal kita, seperti ”Maka Apakah mereka Tidak Melihat”(Afalaa Yandzuruuna), “Maka Apakah Mereka Tidak Mengambil Pelajaran”(Afalaa Tadzkkaruun) dan “Apakah Mereka Tidak mempergunakan Akalnya”(Afalaa Ta’qiluun). Dari kalam Tuhan tersebut kita bisa menangkap bahwasanya Tuhan menegur kita untuk mengoptimalkan fungsi akal sekaligus menantang kita untuk memperhatikan, mengkaji dan mengobservasi dari segala sesuatu yang Tuhan ciptakan yang kemudian akan menjadi tambahan kemaslahatan untuk kehidupan manusia yang akan datang dan pendongkrak iman kita setelah memahami bahwa betapa mahabesarnya Tuhan kita serta Dia menciptakan segala sesuatu terhindar dari kesia-siaan.
Dalam hal memanfaatkan akal, Islam telah menetapkan regulasi bagaimana cara yang benar terutama dalam memandang baik buruknya sesuatu, sehingga tak selamanya akal diperkenankan menembus semua zona dalam hidup kita ada area tertentu dimana akal tak boleh melintasi batas tersebut, misal dalam memahami syariat Islam –dengan kata lain perintah Allah baik Al-Qur’an maupun Hadits-. Dalam Ushuluddin atau Ilmu Tauhid sistematika yang baik dakam menyerap ajaran Tuhan adalah melalui kacamata Naqli (Dalil-dali yang telah tertulis dalam Al-Qur’an dan Hadits) yaitu dalam menimbang baik buruknya sesuatu dalam syariat kita harus menitik beratkan pada dalil Naqli. Jadi, sesuatu jika ditimbang melalui akal logika kita benar tak selamanya bisa dibenarkan oleh Naqli begitu juga sebaliknya. Well, kita harus mengambil aspek dalil Naqlinya terlebih dahulu karena aspek tersebut berasal dari Tuhan yang lebih tahu tentang urusan agamanya dari pada kita. Dikarenakan apabila mengambil dari segi Aqlinya bemum tentu hal tersebut berdampak positif dalam urusan agama yang dimana Aqli tersebut berasal dari akal kita yang sarat kekurangan dan kelemahan serta sering terkontaminasi oleh budaya serta lingkungan kita berada. Dengan kata lain kita tak boleh beragama “hanya” dengan akal dan meng akal-akalkan agama karena akal tak memiliki kapabilitas yang mumpuni untuk menyerap syariat agama secara totalitas atau kaaffah sehingga apabila dipaksakan ditakutkan akan menghasilkan turbulensi pemahaman yang cacat sehingga merusak pemahaman itu sendiri. Dalam kasus ini berlaku asas pengkultusan yang ditujukan pada Tuhan sebagai target man dalam tetekbengek urusan beragama, sering kita dengar jargon “Undzur Man Qaala Walaa Tandzur Manqola” artinya lihatlah siapa yang berbicara dan janganlah lihat apa yang dia bicararakan, siapa diatas tadi kembali kepada Tuhan.
Islam tidak secara mutlak mematikan dan menafikan fungsi dan logika manusia tetapi Islam memberikan porsi tersendiri bagi akal dimana akal menempati kasta kedua setelah Naqli atau sebegai pelengkap dan penguat dari dalil Naqli itu sendiri, artinya kita boleh saja berdalil dengan Aqli apabila sebuah perbuatan (tentang baik buruknya) tak dijelaskan dalam Naqli asalkan Aqli tersebut tidak bertentangan dengan Naqli yang umumnya Aqli tersebut berkaitan erat dengan kebisaan atau cara memandang yang berlaku disebuah komunitas bagaimana menilai baik buruknya terhadap sesuatu.
Alasan Islam menomomorduakan Aqli adalah seringnya akal terkontaminasi dan terintervensi oleh kepentingan nafsu dalam memandang baik buruknya sesuatu dalam situasi tertentu sehingga apabila kekuatan hawa nafsu mendominasi dalam diri seseorang dan kekutan akal telah dikalahkan maka akal pun menjadi lumpuh oleh nafsu demi memuaskan keinginan nafsu yang terlihat rendah dihadapan akal sehat manusia. Perlu kita catat disini, hawa nafsu tidak akan pernah puas semakin sering dilayani semakin manja dan terus meminta kecuali kita punya komitmen dan tekad yang kuat untuk mengekangnya makanya dalam hadits disebutkan jihad yang terbesar dalam hidup ini adalah jihad melawan hawa nafsu.
Tampaknya kita tak pantas mengkonotasi akal tanpa mengimbanginya dengan deskripsi positif mengenai akal. Negasi dari penjabaran di atas, tak selamanya nafsu dapat menggembosi akal jikalau si pemilik nafsu mampu menghandle nafsunya sehingga kondisi akal termanage dengan baik, yang pada akhirnya si pemilik mampu mendaya gunakan akal secara optimal tanpa dibayangi oleh nafsu yang bertolak belakang fungsi diantara keduanya. Akal yang normal mampu menjadi penawar dan pemenang bagi nafsu yang jahat. Jika kita komparasikan, kekuatan akal dan nafsu fity-fity yang kadangkala terjadi superioritas diantara keduanya.
Akal juga menjadi penyekat antara sifat manusia dan binatang serta memberikan perbedaan insting diantara keduanya. Manusia menjadi lebih berharga dan terhormat daripada binatang karena akalnya. Tapi, Tuhan tak menjamin manusia lebih mulia daripada binatang karena akalnya sebab tak semua manusia mengetahui dan mendayagunakan eksistensi akalnya sebagaimana mestinya. Bisa dibilang tak ada bedanya antara ada akalnya atau tidak, otomatis bisa disamakan dengan binatang. Nah, karena tak ada bedanya tersebut manusia dapat diumpamakan lebih hina daripada binatang, bisa kita analisa sendiri mengapa bisa begitu. Allah berfirman dalam surat Al-A’raf ayat 179 yang berbunyi:
“ Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.”
Tapi akal tak berperan tunggal sehingga manusia yang tak dapat memakai akalnya dapat disebut lebih hina daripada binatang, masih ada fikiran dan jiwa dihati yang juga berperan mengontrol keinginan dan insting manusia setelah komponen di atas saling berkolaborasi diantara satu dengan yang lainnya bersama akal, sehingga apabila salah satu diantara keduanya mengalami trouble manusia masih juga berpeluang lebih hina daripada binatang.
Akal tak dapat bekerja jikalau tak ada input dari panca indera, tanpa panca indra akal tak akan berfungsi sebagaimana mestinya karena jika manusia tak berpanca indra ia tak akan pernah bisa hidup, tak ubahnya benda mati. Tapi, tak selamanya panca indra butuh pada akal buktinya kucing masih bisa hidup tanpa akal konsekuensinya kucing hanya dikontrol oleh nafsu hewaninya saja yang terkadang tak dapat diterima oleh akal sehat manusia contohnya, anak kucing yang telah dewasa berhubungan badan dengan induknya lebih parahnya lagi di bangsa manusia sendiri, anak (maaf) memperkosa ibu kandungnya sendiri dan laki-laki berhubungan badan dengan sesama lelakinya begitu juga perempuan. Pernahkah kita mendengar cerita binatang berhubungan dengan sesama jenisnya dikalangan mereka, saya kira anda juga belum pernah mendengarnya. Bukankah hal ini lebih memalukan daripada binatang. Inilah fakta yang tak dapat disangkal telah terjadi di abad kita sekarang. Inilah suatu gambaran akal telah bertekuk lutut di hadapan hawa nafsu. Dengan kata lain, nanusia lebih hina daripada binatang karena keberadaan akalnya (karena akalnya tak digunakan).
Begitulah Allah menjadikan akal lawan dan ingkaran dari hawa nafsu. Dua makhluk Allah yang tertanam dalam setiap jiwa manusia, keduanya saling mengalahkan dan tidak akan pernah bersatu untuk menguasai jiwa manusia. Manusia yang dominan akalnya berarti dia mendapat pancaran nur-ilahi begitu juga sebaliknya. Allah pernah bertanya pada akal dan hawa nafsu: Hai akal siapakah aku dan kamu? Akal menjawab, aku adalah hambamu dan engkau adalah tuhanku. Hawa nafsu juga menjawab: aku adalah aku sendiri, kamua adalah kamu.
Akal juga mempunyai peran vital dalam kriteria pewajiban aturan Islam yaitu ketika Islam mewajibkan secara mutlak kepada seorang muslim tentang hukum-hukumnya, segala perintahnya dan semua ajarannya untuk dilaksanakan. Ketika Islam memandang seseorang telah wajib menjalankan aturannya yang telah diletakkan di pundaknya, artinya akal menjadi indicator untuk menganggap dan memperhitungkan tentang perbuatan baik dan buruk yang telah dilakukan oleh seorang muslim. Yang pada awalnya dia masih kanak-kanak “belum dianggap” dalam pelaksanaan dan penyerapan aturan Islam sekarang dia sudah mulai beranjak dewasa (berakal) otomatis aturan Islam wajib dilaksanakan olehnya. Sedangkan orang yang telah berakal biasa disebut mukallaf. Tak hanya itu Islam meletakkan akal sebagai tolak ukur dalam berlakunya sebuah kewajiban. Dalam persaksian Islam juga meletakkan akal sebagai satu hal yang harus dimiliki oleh seorang saksi secara logika anak kecil dan orang sinting tak dapat menjadi saksi karena akalnya yang tak sempurna, begitu juga syarat dalam menjadi seorang perawi hadits.
Islam sangat mengakui eksistensi akal dalam jiwa manusia buktinya Islam melarang penganutnya mengonsumsi segala sesuatu yang memabukkan seperti Khamr, ganja, heroin dan ekstasi. Karena rasa mabuk mampu menghilangkan akal sehat dan kesadaran, yang pada akhirnya si peminum melakukan perbuatannya diluar kontrol akalnya yang kebanyakan memang tak masuk akal perbuatan si peminum tersebut seperti membunuh istrinya sendiri, menyetubuhi darah dagingnya sendiri den perbutan tercela lainnya. Dengan kata lain, menjaga akal agar tetap sadar merupakan tindakan preventif bagi manusia dari perbutan kriminal dan menzhalimi orang lain. Allah berfirman tentang pelarangan khamr dalam kitabnya yang berbunyi:
" Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,"ِ
Akal juga turut diperhitungkan dalam Ilmu teologi atau ilmu kalam, yaitu akal menjadi salah satu kerangka berpikir dalam ilmu tersebut. Cara berpikir dalam berpendapat tentang suatu hal turut mempengaruhi hasil dari sebuah keputusan. Cara berpikir yang memberikan porsi tak terbatas pada akal biasa disebut cara berpikir rasionalis, logis atau logika. Dalam Ilmu teologi penganut cara berpikir seperti di atas sering diadopsi oleh orang-orang mu’tazilah makanya mereka sering dijuluki rasionalis atau liberalis, sang maniak akal.
No comments:
Post a Comment