Harta, tak satupun manusia yang tak membutuhkan benda yang satu ini. Keberadaannya dalam hidup manusia menjadi suatu hal yang sangat vital. Di mana manusia hidup dia pasti membutuhkan benda yang satu ini. Tak dapat dipungkiri juga benda ini tak mengenal zaman (multi period). Inilah dahsyatnya peran pentingnya harta bagi kehidupan umat manusia yang senantiasa mengiringi dimanapun dan kapanpun manusia berada. Ajaibnya, benda ini tak pandang kasta, usia dan gender juga meskipun keberadaannya menjadi boomerang bagi sebagian orang dalam hidupnya maupun ketenangan jiwanya. Telah banyak gambaran peristiwa seseorang yang tak berhasil dalam hidupnya karena terpedaya oleh harta. Tak mampu memgendalikan dirinya dalam bersikap dengannya.
Dengan harta, kita dapat menciptakan sebuah istilah atau streotipe tentang kondisi yang menyangkut masalah keadaan tentang harta seseorang yaitu si kaya dan si miskin. Sebutan diatas lebih mengarah pada tingkat kemampuan hidup atau taraf hidup seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya jika di ukur dari segi materi atau dari segi finansialnya. Tak terelakkan dengan adanya perbedaan dalam kondisi finansial antara si kaya dan si miskin ini kemudian tercipta sekat-sekat dalam tatanan kehidupan manusia yang kemudian menciptakan sebuah sebutan yang biasa di sebut dengan kasta. Dengan adanya kasta ini tercipta pula perlakuan yang berbeda dari setiap penguasa atau otoritas yang ditinggikan dalam suatu kelompok dalam melayani dan berinteraksi anatara dua kelompok komunitas ini yaitu anatara si kaya dan si miskin. Perbedaan ini terkadang menimbulkan kesenjangan bahkan ketidak adilan perlakuan dalam berbagai momentum jika kita amati secara kasat mata sehingga menimbulkan keprihatinan dan ketidakterimaan bagi oknum yang yang dirugikan, atau menimbulkan kedzaliman bagi penguasa yang tak paham bagaimana sebebarnya konsep serta peran kaya dan miskin dalam tatanan hidup umat manusia yang serba sosialisatif yang dimana tiap orang tak mungkin satu diantara mereka tak membutuhkan bantuan yang lainnya.
Salah satu gambaran nyata tentang kesenjangan dalam fenomena ini, yaitu bagaimana perbedaan sikap kita atau cara kita dalam menghadapi dan menghormati orang yang lebih terpandang dalam segi harta daripada kita. Kita cenderung lebih menghormati dan menghargai serta lebih segan ketika kita berhadapan dengan orang kaya dan di pandag berada. Kita cenderung taat , menganggukkan kepala, patuh dan pro serta mereka lebih mempunyai nama dalam benak kita terhadap orang kasta ningrat dari pada orang-orang yang taraf ekonominya menengah kebawah. Ini sangat kontras dengan cerminan bagaimana sikap kita tatkala berhadapan dengan para pengemis dan orang yang kondisi ekonominya di bawah kita, cenderung acuh tak acuh dan kurang menghargai serta kurang menganggap keberadaan mereka baik dalam kesetaraan dalam menerima hak maupun ketika mereka mengutarakan aspirasi yang terdapat dalam benak mereka. Padahal antara si kaya dan si miskin itu sama saja di mata Allah, yang dinilai adalah tingkat ketakwaan seseorang bukan berapa banyak mobil dan rumah yang ia miliki. Inilah fakta yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita saat ini.
Kita tak dapat menyalahkan pada si miskin kenapa dia harus hidup susah dan melarat sehingga mereka kurang mendapat simpati dari orang lain. Seharusnya kita harus memiliki kebijaksanaan dan kedewasaan serta penghargaan tentang peran kondisi sosial masyarakat yang diderita oleh seseorang dalam kehidupannya. Si miskin tak salah dengan kemiskinannya karena keberadaan merekah orang berharta dapat di sebut kaya dan karena merekalah pula para dermawan dapat menyalurkan zakat dan sedekah yang mereka wakafkan yang dalam agama kita pekerjaan tersebut merupakan perintah yang ditekankan bagi setiap muslim untuk mengerjakannya. Salah satu buktinya adalah firman Allah SWT. Dalam surat Al-Baqarah Ayat 4 yang berbunyi: “Alladziina Yu’minuuna Bil Ghaybi Wayuqiimunas Shalaata Wamimmaa Razaqnaa Hum Yunfiquun”
الذين يؤمنون بالغيب ويقيمون الصلاة ومما رزقناهم ينفقون
Yang artinya : “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.”
Yang salah adalah apabila ada orang kaya yang tak sadar akan kewajibannya sebagai seorang kaya dan menyombongkan diri dengan kekayaannya. Padahal hakikatnya hartanya tersebut bukan miliknya tetapi titpan Allah yang di amanatkan kepadanya yang di hari kemudian kelak akad di hisab bagaimana dan untuk apa serta kemana saja harta itu dipergunakan. Sungguh jangan terlena dan bergembira wahai orang yang memiliki harta yang memimpah, meskipun kalian hidup di dunia bergelimang dengan kemewahan, kesenanagan dan kemudahan yang kalian raih selama ini. Kelak kalian akan diminta pertanggung jawaban tentang harta yang kalian dapatkan dan kalian pergunakan selama ini. Sungguh sangat sulit mencari orang yang tak hanya kaya secara materi tetapi juga orang kaya hati, merekalah orang yang selalu qona’ah dan meras cukup dengan apa yang telah dimilikinya salama ini. Yang tak pernah meresa iri dengan apa yang telah di dapatkan oleh orang yang lebih punya daripada dirinya. Kaya hati lebih kompleks dari sekedar kaya harta, karena orang yang kaya hati dia akan merasa cukup dan puas dengan segala seseuatu yang dia miliki dalam hidupnya. Dia tak akan menuruti apa kata hawa nafsunya karena dia sudah berkecukupan dan ridho atas segala sesuatu yang Allah takdirkan.
Memang sulit untuk menemukan orang yang berjiwa qona’ah di zaman yang sudah amburadul seperti sekarang ini. Kebanyakan orang telah menuhankan materi dan uang ketimbang aspek keagamaan. Seakan akan harta menjadi segala-galanya yang harus kita tunduk kepadanya dan menjadi tujuan awal dalam hidup kita. Inilah efek negetif harta jika kita terlalu memberikan perhatian dan kecintaan yang berlebihan terhadapnya. Akan menimbulkan sifat tamak dalam diri kita. Cinta harta dan takut mati. Sifat tamak ini juga terkadang membuat hati nurani manusia menjadi buta sehingga tingkah lakunya di ambang batas kewajaran jika kita nilai dengan kaca mata hati nurani kita.
Kecintaan seseorang terhadap harta dapat membuat orang tersebut menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta yang ia inginkan meskipun bukan dengan cara-cara yang bersih dan tidak di bolehkan oleh agama. Bahkan terkadang terdapat unsur kedzaliman yang merugikan orang lain di dalamnya. Salah satu penyebab sifat ini adalah ketamakan yang ada dalam diri seseorang tersebut. Salah satu munculnya sifat tamak tadi ya karena orang tersebut tak menjaga kebersihan dan kesehatan hatinya. Jadi intinya berawal dari penyakit hati.
Salah satu langkah antisipatif untuk menghindari watak yang tamak adalah dengan berusaha menanamkan sifat qona’ah dalam diri kita. Ada salah satu hadits nabi yang menyebutkan “hendaknya kita melihat orang yang di atas(lebih baik) dari kita jika dalam hal akhlak tetapi jika dalam hal harta hendaknya melihat kepada yang di bawah kita(lebih rendah taraf ekonominya)
Harta juga yang membuat perpecahan diantara umat manusia. Seseorang saling melengserkan dan mengalahkan para rival-rivalnya dalam kompetisi meraup keuntungan dalam mendapatkan harta yang sebanyak-banyaknya. Tidak peduli meskipun memakai cara-cara yang amat kotor demi memenuhi ambisi yang ada di dalam dadanya. Seperti sistem ekonomi kapitalis yang berlaku di kebanyakan negara-negara eropa serta di legalkan untuk di jalankan oleh otoritas perekonomian setempat. Pihak seperti merekalah merupakan salah satu gambaran manusia-manusia yang berwatak tamak dan mengutamakan hawa nafsunya serta haus akan kenikmatan bergelimangnya harta yang telah biasa mereka rasakan. Dan hal itu menjadi adiktif dalam diri serta lama kelamaan menjadi kebiasaan yang harus di penuhi dan di turuti. Beginilah jikalau hawa nafsu selalu di manja, semakin lama menginginkan permintaan yang melebihi dari permintaan yang sebelumnya.
No comments:
Post a Comment